Minggu, 02 November 2014

MAKALAH BAI TAWARRUQ (KEGIATAN USAHA BANK SYARIAH)



KATA PENGANTAR
ﺑ۔ﺳ۔ﻢ ﺍﷲ ﺍﻠ۔ﺭﺤ۔ﻤﻦ ﺍﻠﺭﺤ۔ﻳ۔ﻢ
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah kami dengan judul Ba’i Tawarruq
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun susunan bahasanya. Hal itu disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, untuk kesempurnaan penyusunan makalah ini.
Akhirnya kepada Allah swt jugalah kita berserah diri dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.











          A.PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
   Makalah ini berkaitan dengan kegiatan pembiayaan Islam, yang merupakan sub sektor dari perekonomian Islam. Hukum untuk pembiayaan Islam berasal dari petunjuk yang diwahyukan oleh Allah Swt melalui Nabi Besar Muhammad Saw, dan dituliskan ke dalam ayat-ayat Al Qur’an, serta dijelaskan oleh Sunnah Rasul. Dalam pembiayaan Islam, petunjuk dan atau ketetapan Tuhan ini dikembangkan oleh para ulama atau fukaha dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan sosiologis dan ekonomis masyarakat dari waktu ke waktu. Jenis-jenis pembiayaan yang diijinkan dalam Islam adalah yang telah dikaji dan dikembangkan oleh para ulama atau fukaha. Hasil dari pengkajian ini dimanifestaikan ke dalam akad-akad pembiayaan Islami. Bai al inah dan tawarruq adalah dua jenis pembiayaan yang terdapat dalam ranah ekonomi Islam. Namun, tawarruq tampaknya masih dalam perdebatan apakah diperbolehkan atau dilarang, sedangkan bai al inah dilarang karena adanya nash hadis yang dengan jelas melarangnya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperjelas pembahasan dari para ulama jumhur dalam menentukan apakah bai tawarruq tersebut diijinkan untuk diterapkan dalam pembiayaan Islam. Sejalan dengan latar belakang di atas, pendekatan metodologis penulisan makalah ini bersifat kualitatif, dengan mengambil substansi yang terkait dari ayat Al- Qur’an, hadis Nabi Saw, pendapat para fukaha dari sejumlah mazhab, pendapat para ahli masa kini, dan substansi dari  akad pembiayaan Islami. Penelitian ini dilakukan murni bersifat kepustakaan, dan bahan yang digunakan hampir seluruhnya merupakan kutipan dari penulis yang telah ada dalam ranah ekonomi dan pembiayaan Islam, ushul fiqih, fiqih klasik dan kotemporer beserta pendapat para pakar terkait.
2. Rumusan Masalah
a)      Pengertian ba’i Tawarruq
b)      Dasar hukum jual beli Tawarruq
c)      Skema pembiayaan Tawarruq
d)     Pendapat Ulama tentang tawarruq

            B.PEMBAHASAN
            1.PENGERTIAN BA’I TAWARRUQ
            Dalam kamus, kata tawarruq diartikan daun. Dalam hal ini artinya adalah memperbanyak harta. Jadi tawarruq diartikan sebagai kegiatan memperbanyak uang. Menurut Ibnu Taimiyah, tawarruq adalah seseorang membeli barang dengan harga tertangguh kemudian menjualnya kepada orang lain (bukan penjual pertama) secara tunai, karena keinginan untuk mendapatkan uang tunai dengan segera. Misal, seseorang membeli barang dengan harga 100 dirham, karena ia memerlukan uang, maka barang tersebut dijual kembali dengan harga 90 dirham,jadi tawarruq sejenis ba’i inah. Secara umum tawarruq adalah akad jual beli seperti bai al-inah (sale and buy back) yang melinatkan tiga pihak, bukan dua pihak seperti kasus bai al-inah. Akad tawarruq digunakan banyak di negara Timur Tengah sebagai alat untuk manajemen likuiditas. Tawarruq disebut juga sebagai kredit murabahah.[1]
            Secara istilah tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi daripada harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.
            Menurut Muhammad Nazih Hammad dalam al-fiqh al-mu’asyirah, tawarruq identik dengan sekuritisasi atau bai al-inah ketika menjadikan utang yang tertunda atau tertangguhkan kepada beban orang lain dalam waktu di tetapkannya sampai selesainya. Sementara itu, menurut fatwa yang diawasi oleh Dr.Abdullah al-fakih, tawarruq adalah membeli barang-barang dengan suatu pembayaran di tunda dan menjualnya kepada selain dari penjual dalam rangka memperoleh uang tunai. Dengan demikian, secara umum tawarruq adalah akad jual beli seperti bai al-inah yang melibatkan tiga pihak,bukan dua pihak seperti kasus bai al-inah.[2]


            2.HUKUM JUAL BELI TAWARRUQ
            Dalam jual beli tawarruq ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu Taimiyah, jual beli tawarruq hukumnya adalah haram,karena ia merupakan sarana bagi riba mendapatkan keuntunngan yang besar. Menurut Imam Nawawi,dalam kitab raudhoh ath-thalibiin, jual beli tawarruq hukumnya halal karena tidak ada larangan jual beli secara inah dan tawarruq, begitu juga menurut Ismail ibn Yahya al-Muzni Syafi’I tidak ada larangan seseorang menjual harta bendanya secara kredit kemudian membelinya kembali dari si pembeli dengan harga lebih murah, baik secara kontan, penawaran maupun kredit. Untuk jelasnya tabel pendapat ulama tentang tawarruq.[3]
ULAMA
PENDAPAT
ALASAN
Jumhur Ulama
Boleh
Diartikan sebagai Jual beli
Bin Baaz
Boleh
Berbeda dengan bai al-inah dan memudahkan dan memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhannya
Ibn Uthaimeen
Boleh
Merupakan salah satu jenis pinjaman yang diperbolehkan dengan membeli suatu butir untuk suatu pembayaran angsuran, kemudian menjualnya kepada orang lain
Ibn Taimiyah
Dilarang
Sama dengan bai al-inah. Namun dibolehkan dengan syarat:
·         Bahwa seseorang sedang kekurangan uang,jika tidak kekurangan uang maka tidak di izinkan
·         Bahwa ia tidak memperoleh uang degan cara yang diizinkan,seperti  dengan cara pinjaman
·         Bahwa kontrak tidak meliputi format riba
·         Peminjam tidak menjualnya sampai ia telah menempati tentangnya dan memindahkan kepemilikan nya sebab Nabi melarang penjualan suatu butir sebelum pedagangnya pindah gerak
Abu hanifah
Dilarang
Boleh, jika melibatkan pihak ke tiga (bukan sale and buy back)[4]

          Dalam Hukum Islam, tawarruq adalah struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yaitu seorang yang membutuhkan likuiditas. Dalam praktiknya, transaksi tawarruq dapat terjadi ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjualnya kembali kepada orang ketiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari transaksi tawarruq: 1. Seseorang yang membutuhkan likuiditas (uang tunai) membeli produk barang atau komoditi dengan cara kredit dan menjualnya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa diketahui oleh pihak-pihak lain, akan niatnya tersebut di atas.            2. Seseorang (mutawarriq) yang membutuhkan uang tunai, memohon untuk diberikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uangnya, tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barangnya dengan cara kredit dengan harga tunai. Lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang lain, dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi. Kedua formasi transaksi tawarruq ini, dapat diterima dan diizinkan oleh para Ulama tanpa adanya perdebatan. 3. Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda, karena cicilan. Formasi ini masih diperdebatkan oleh para pakar hukum ekonomi syariah.
            Perbedaan antara Tawarruq dan Inah Pada transaksi bai’ al-inah, seseorang yang membutuhkan dana, membeli barang dengan cara kredit, lalu menjualnya kembali kepada si penjual (pemilik barang) dalam bentuk tunai, yang harganya lebih rendah dari harga kredit. Akar kata inah adalah ayn (barang yang telah dibeli) dapat menemukan jalannya kembali kepada pemilik asalnya. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam, barang yang digunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yakni rekayasa untuk menghindar dari hal-hal yang dilarang, seperti riba. Sedang tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuhkan dana segar atau uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjualnya kepada pihak ketiga dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah. Struktur transaksi tawarruq tidak mengindikasikan hilah (melegalkan cara untuk mendapatkan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asalnya. Dengan demikian, para pakar hukum Islam, berpendapat bahwa tawarruq adalah transaksi yang sah dan dapat di terima.[5]

            3.BAGAN PEMBIAYAAN TAWARRUQ
PIHAK III
 
BANK
 
              
NASABAH
 
                              


                                        Bayar tunda                                                                 Bayar Tunai

                                     Rp.X+Margin                                                                    Rp.X                              [6]

Terdapat dua macam tawarruq: Pertama, organized tawarruq atau tawarruq munazzam, dengan menunjuk pihak ketiga sebagai agen; pembeli tidak menerima barang dagangannya dan tidak terkait dengan kegiatan penjualannya kembali, karena dilakukan oleh seorang agen dan pembayaran diberikan kepada pembeli awal. Umar Azka merinci karakteristik dari tawarruq ini: dilakukan oleh 4 pihak, ada perjanjian di muka untuk membeli suatu komoditi, tidak ada perjanjian untuk membeli dari nasabah (mutawarriq), melibatkan perjanjian bersama yang harus sesuai prosedur, adanya penunjukkan bank sebagai wakil dari nasabah untuk menjual komoditi kepada pihak lainnya, dan tidak terjadi pemindahan fisik dari komoditi yang diperdagangkan dan hanya sebatas penandatanganan akad jual beli.  
Tawarruq munazam berlaku di pasar internasional. Bank syariah membeli komoditi di pasar internasional dengan pembayaran tunai, dan menjual ke nasabahnya dengan akad murabahah dengan harga yang lebih tinggi; lalu bank atas nama nasabahnya menjual kembali komoditi itu ke pihak ketiga dengan harga yang lebih tinggi dan diangsur sesuai dengan perjanjian di muka. Proses ini biasanya melibatkan pihak ke empat, yaitu sebagai broker dengan memperoleh fee, di pasar komoditi internasional. Menurut ulama yang membolehkan tawarruq ini, alasannya adalah seluruh transaksi berdasarkan prinsip syariah, yaitu: (a). bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan secara konstruktif memiliki komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam dokumen transaksi atas dasar janji untuk membeli dari nasabah, (b). bank menjual komoditi itu dengan prinsip murabaha dan hak kepemilikan pindah kepada nasabah, (c). nasabah menunjuk bank sebagai wakil untuk menjual kembali komoditi tersebut, (d). Bank kemudian menjual kembali komoditi tersebut kepada pihak ketiga,           (d). Bank memberikan dana hasil penjualan kepada nasabah.
 Kedua, dalam real tawarruq, yaitu tanpa pengaturan terlebih dahulu, dan pembeli memiliki dua opsi, yaitu menyimpan barang yang telah dibeli, atau menjualnya kembali, dan karena barang itu sudah berada di tangannya, maka dia dapat melakukan apa saja terhadap barangnya itu. Menurut Umar Azka, karakteristik dari real tawarruq adalah: dilakukan oleh 3 pihak, tidak ada perjanjian untuk membeli, hanya ada 2 dasar jual beli, tidak ada kerjasama, nasabah menjual sendiri komoditinya, dan adanya pemindahan komoditi secara phisik setiap kali terjadinya akad jual beli.
Tawarruq pada dasarnya menyangkut dua akad. Akad pertama adalah akad untuk pembelian dengan pembayaran secara tunda. Akad kedua merupakan penjualan kepada pihak lain dengan pembayaran tunai tetapi dengan harga lebih rendah. Transaksi tawarruq  itu memberi peluang atau berimplikasi terhadap kesempatan untuk meminjam uang dengan menggunakan akad syariah yang diijinkan. Menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, dalam konteks keuangan, mekanisme yang terjadi dapat diartikan sebagai pemberian pinjaman dengan zero coupon, dan tingkat bunga pinjaman disamakan dengan tingkat bunga seperti yang ditentukan oleh penjual awal untuk pembayaran tangguh.[7]
Wahbah Al Zuhaili menegaskan karakteristik dari tawarrug, yaitu: tujuannya bukan untuk memperoleh komoditi tetapi digunakan untuk menutupi niat memperoleh likuiditas, tawarruq dan inah pada dasarnya sama sebagai praktik riba. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa para ulama sepakat untuk melarang transaksi itu, jika terlihat tanda-tanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba; namun, mereka berbeda pendapat, jika tidak ada tanda-tanda yang bermaksud untuk tujuan riba. Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa illah yang ditemukan dalam tawarrug adalah bertambahnya biaya menjual dan membeli suatu komoditas, dan kerugian yang terjadi dalam penjualan. Menurut beliau lebih lanjut, hukum syara tidak mengijinkan kerugian yang kecil, ketika pada saat yang sama menginjinkan kerugian yang lebih besar.
                  4.PANDANGAN KLASIK  TERHADAP TAWARRUQ.

Menurut Adiwarman Karim, hampir semua kitab fiqih mengijinkan transaksi tawarruq, dan yang melarangnya hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari mazhab Hanbali. Ulama yang mengijinkan dan pihak yang menolak transaki tawarrug ini, yaitu:
         a.         Kebanyakan ulama mengijinkan dan di antaranya adalah  Muhammad bin Utsmain            dari  Hanbali tetapi dengan syarat tertentu, dan Iyas bin Mu’awiyah dan salah satu        riwayat dari Imam Ahmad, diperkuat oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy    dan      Syaik Abdul Aziz bin Baz dalam Taudhihul Ahkam, dan seterusnya. Pendapat ini        berdasarkan kaidah umum bahwa jual beli adalah halal yang bersandar pada             Surat Al           Baqarah (QS, 2 : 275), dan didukung dengan surat  Al Maidah (QS, 5 :      1), Al Baqarah             (QS, 2 : 280). Hadist Nabi Saw yang membolehkannya adalah         seperti yang diriwayatkan       oleh al Bukhari dan Muslim. Intinya adalah bahwa Nabi Muhammad          Saw melarang seorang petani untuk menukar kurma yang baik dari Khaybar sebanyak        satu kilo dengan kualitas yang            lebih rendah sebanyak 3 kilo. Sebaliknya, Nabi Muhammad Saw menyarankan untuk menjual kurma        kualitas rendah terlebih dahulu untuk             mendapatkan uang tunai, dan menggunakan uang     tersebut untuk membeli kurma            yang berkualitas lebih bagus. Berdasarkan hadis ini, para         ulama tersebut berpendapat    bahwa media tawarrug dapat digunakan untuk memperoleh      likuiditas yang             diperlukan. Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan syarat, yaitu:             bahwa orang yang      melakukan transaksi itu memiliki kebutuhan yang jelas, dia tidak     dapat             memperoleh     kebutuhannya melalui Al Qard, as Salam atau lainnya, dan barang   yang    terkait telah             dipegang dan dikuasai oleh penjual. Sebelum barang itu dijual kembali,       ia sudah           menerima barang itu secara legal.
         b.         Pendapat yang melarangnya adalah dari mazab Hanbali, Abu Hanifah, Asy Syafi’i,           dan  Maliki, Umar bin Abdul Aziz dan didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu       Taimiyah dari mazab Hanbali, Ibn Qoyim, dan fatwa Al Lajnah Ad-Da-imah Saudi      Arabia. Abdullah bin Abdul Wahab dari Hanbali berpendapat bahwa tawarrug             hukumnya       makruh, jika target pembeli adalah uang tunai atau dirham melalui   pembelian dengan             harga seratus dengan kredit, kemudian menjualnya tujuh puluh        secara tunai. An Nasafi           dalam Thalabah Ath Thalabah menyatakan bahwa tawarrug termasuk kategori bai al      inah, karena mengalihkan praktik utang ke          penjualan barang. Ibnu Hajar Al Haitami       dalam Tuffatul Muhtaj dari Asy Syafi’i             mengatakan bahwa kadang-kadang praktik jual         beli bersifat makruh, yaitu seperti       pada bai ’al inah, dan semua bentuk jual beli dengan     kehalalan yang masih diperselisihkan karena sama seperti untuk menghindari praktik riba      . Ulama            Maliki melarangnya, dengan alasan bahwa tawarrug dapat dipersamakan    dengan             bai al inah, karena perbedaannya hanya pada keadaan barang yang kembali pada   bai       al         inah, dan tidak kembali pada tawarrug. Ibn Qoyim, murid dari Ibn     Taymiyya,       mengatakan bahwa gurunya tidak pernah mengijinkan tawarrug, karena            substansi          ekonomis yang pasti berupa riba dikandung oleh akad tersebut, dan biaya         transaksi          bertambah ketika dibeli dan dijual dengan kerugian; syariah tidak melarang             kerugian kecil dan mengijinkan kerugian besar.
  Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa tawarrug adalah bagian dari riba. Tawarrug       munazam memberikan indikasi bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh dana segar           dari utang yang dibayar secara mengangsur, dan mengandung hilah atau rekayasa    untuk   melakukan apa yang dilarang. Hadist yang digunakan sebagai dasar untuk     melarangnya    adalah sama seperti di atas, yaitu dari HR Abu Daud, karena Tawarrug             tidak jauh        berbeda dengan inah. Sebagian mazab Hanafi juga menyamakankan           dengan bai al inah.             Perbedaanya sedikit sekali, yaitu terletak kepada siapa penjualan     kembali barang            dilakukan. Pada bai al inah, barang dijual kepada penjual       pertama, sedangkan pada        tawarrug kepada pihak ketiga.[8]


KESIMPULAN
            Dalam kamus, kata tawarruq diartikan daun. Secara istilah tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi daripada harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.
            Hampir semua ulama mengijinkan transaksi tawarrug, dan yang melarangnya sebagian ulama seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari mazhab Hanbali. Tawarruq pada dasarnya menyangkut dua akad. Akad pertama adalah akad untuk pembelian dengan pembayaran secara tunda. Akad kedua merupakan penjualan kepada pihak lain dengan pembayaran tunai tetapi dengan harga lebih rendah.









           

           
            DAFTAR PUSTAKA
            Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta. RajaGrafinda Persada.
            Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta. Prenada Media Group.
        






Tidak ada komentar:

Posting Komentar