TUGAS MID SEMESTER
KEGIATAN USAHA BANK SYRI’AH II
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
NAMA : ADE
KURNIAWAN
NIM : 12 220 0003
PERBANKAN
SYARIAH I
SEMESTER
: V
DOSEN
PEMBIMBING : Rosnani
Siregar, M.Ag
NIP : 19740626
200312 2 001
T.A 2014/2015
1. Sebutkan
defenisi dari Ba’i al-wafa, Ba’i tawarruq, Ba’i al-inah, Ba’i ad-dayn dan ba’i bidhamanil ajil?
Secara etimologi Ba’i al-wafa
berasal dari kata ba’i yang berarti jual beli sedangkan al-wafa berarti
pelunasan atau penutupan hutang, sedangkan secara terminologi Ba’i al-wafa
merupakan jual beli yang dilangsungkan oleh dua pihak yang dibarengi dengan
syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual apabila
tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Secara etimologi kata tawarruq
diartikan daun. Dalam hal ini artinya adalah memperbanyak harta. Jadi tawarruq
diartikan sebagai kegiatan memperbanyak uang. Sedangkan secara istilah Ba’i
tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika
pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan
pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut
kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih
tinggi daripada harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapatkan
pinjaman uang dengan pembayaran tunda.
Secara etimologi inah berarti
meminjam/berhutang, sedangkan menurut istilah Ba’i al-inah adalah menjual suatu
benda dengan harga lebih dibayarkan belakangan dalam tempo tertentu untuk di
jual lagi oleh orang yang berhutang dengan harga saat itu yang lebih murah
untuk menutup hutangnya.
Secara etimologi dayn berarti
hutang, secara istilah adalah jual beli dua hal yang tertunda, ia dapat berlaku
pada pengalihan barang(kepemilikan) dan pembayaran tertunda, baik berupa barang
maupun uang. Peraturan yang wujud dalam hal ini adalah dilarang melakukan
penangguhan kedua-duanya, baik ia berupa barang dengan barang, maupun barang
dengan uang. Jadi jual beli ini harus ada serah terima tunai dan pada masa yang
sama.
Secara istilah Bidhamanil ajil
adalah jual beli tertangguh.
Bagi orang yang membutuhkan biaya untuk keperluan produktif ataupun konsumtif,
dapat menggunakan konsep ba’i bidhamanil ajil ini dalam berkontrak. Hal ini
karena prinsip ini memberikan ruang kepada nasabah untuk membeli sesuatu dengan
pembayaran secara diangsur.
Pembiayaan ba’i bidhamanil ajil berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk
membeli suatu barang dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut
ditambah margin keuntungan bank secara menyicil sampai lunas dalam jangka waktu
tertentu sesuai kesepakatan. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih
harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.
2. Uraikan
pendapat Ulama terhadap produk Perbankan yang tertera di atas?
a) Pendapat
Ulama tentang ba’i al wafa
Menurut Musthafa Ahmad
dan Abdurrahman Ashabuni, jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan telah
menjadi urf (adat kebiasaan), baru kemudian para ulama fiqh dalam hal ini ulama
Hanafi, melegalisasikan jual beli ini. Imam an Nasafi seorang ulama terkemuka
mazhab Hanafi ia mengatakan: “para syekh kami(Hanafi) membolehkan bai al-wafa
sebagai jalan keluar dari riba. Jalan pikiran ulama Hanafiyah dalam memberikan
justifikasi terhadap bai al-wafa adalah berdasarkan istilah urf. Akan tetapi
para ulama fiqh lainnya tidak boleh melegalisasi bentuk jual beli ini.
Namun demikian para ulama muta
akhirin (generasi belakangan) dapat menerima baik jual beli ini, dan
menganggapnya sebagai akad yang sah bahkan dijadikan hukum positif.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Mesir menyusun kitab Undang-Undang hukum
perdata pada tahun 1948 bai al-wafa juga diakui secara sah dan dicantumkan
dalam pasal 430 undang-undang itu. Akan tetapi ketika terjadi revisi terhadap
undang-undang ini pada tahun 1971,bai al-wafa tidak dicantumkan lagi. Menurut
Mustafa az-Zarqa pembuangan pasal tersebut bukan karena akad tersebut tidak
diakui sah oleh para ulama mesir, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan
situasi dan kondisi ketika undang-undang itu di buat.[9]
b) Pendapat
ulama tentang bai tawarruq
Dalam jual beli tawarruq
ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu Taimiyah, jual beli tawarruq hukumnya
adalah haram,karena ia merupakan sarana bagi riba mendapatkan keuntunngan yang
besar. Menurut Imam Nawawi,dalam kitab raudhoh ath-thalibiin, jual beli
tawarruq hukumnya halal karena tidak ada larangan jual beli secara inah dan
tawarruq, begitu juga menurut Ismail ibn Yahya al-Muzni Syafi’I tidak ada
larangan seseorang menjual harta bendanya secara kredit kemudian membelinya
kembali dari si pembeli dengan harga lebih murah, baik secara kontan, penawaran
maupun kredit.
Jumhur ulama membolehkan
karena ia mengartikan sebagai jual beli, Ulama bin Baaz membolehkannya sebab
tawarruq berbeda dengan inah dan memudahkan dan memungkinkan masyarakat
memenuhi kebutuhannya. Adapun ulama Ibn Uthaimeen memeperbolehkan bai tawurruq
dengan alasan merupakan salah satu jenis pinjaman yang diperbolehkan dengan
membeli suatu butir untuk suatu pembayaran angsuran, kemudian selanjutnya
menjual kepada orang lain. Abu Hanifah melarangnya, terkecuali dengan beberapa
alasan, seperti jika melibatkan pihak ketiga (bukan sale and buy back).[10]
c) Pendapat
ulama tentang bai ad-dayn
Jual beli hutang
merupakan salah satu bentuk perniagaan yang diperdebatkan statusnya.sebagian
ulama membolehkan jual beli hutang pada pengutang (orang yang berutang). Dengan
demikian jual beli hutang dilakukan, baik kepada pengutang atau selain pihak
pengutang. Juga dapat dilaksanakan dalam dua hal, baik pembayaran harga secara
tunai maupun bertangguh. Ada beberapa pendapat ulam tentang status hukum jual
beli tersebut.[11]
·
Jual beli hutang secara tunai
Mengenai jual beli
hutang secara tunai fukaha berpendapat, pertama, jual hutang kepada orang yang
berutang itu sendiri. Hukum jual beli hutang seperti ini adalah berbeda
berdasarkan hutang tetap (mustaqir) dan hutang tidak tetap (ghairu mustaqir)
jumhur ulama mengemukakan bahwa jual hutang yang telah milik tetap boleh atau
dapat dihibahkan kepadanya, baik dan tukaran (bayaran) atau tanpa tukaran atau
hibah, ini dikenal dengan istibdal. Akan tetapi jual beli hutang yang tidak
tetap dapat diumpamakan seperti bai salam, dimana tidak dibolehkan menjualnya
sebelum serah terima, karena bisa jadi terjadi pembatalan kontrak perjanjian
sebelum barang yang dipesan diterima.
Kedua, jual beli hutang
kepada selain dari orang yang berutang. Jumhur ulama berpendapat jual beli ini
tidak dibenarkan. Sementara mazhab Syafi’I menjelaskan boleh hukumnya menjual
barang kepada pihak ketigasekiranya hutang tersebut tetap, dan ia jual dengan
barang secara tunai. Perdagangan pasar sekunder untuk sekuritas islam
dimungkinkan melalui bai ad-dayn sebagai mana berbagai kasus di Malaysia yang
didasarkan pada sukuk. Akan tetapi jumhur ulama tidak menerima keadaan ini
karena hutang yang diwakili oleh sukuk didukung oleh aset-aset utama.
·
Jual beli hutang secara tanggguh
Berhubungan dengan hal
ini ahli fiqih semangat mengatakan bahwa bai ad-dayn bi al-dayn tidak boleh,
baik dijual kepada orang yang berutang, maupun kepada orang lain. Ibnu Qayyim
menjelaskan bahwa perkara yang di tunda penyerahannya, disampingayn(benda yang
diserahkan) tidak ada pada kekuasaannya, seperti menyerahkan sesuatu dengan
sesuatu dalam bentuk tanggungan. Hal ini dapat menimbulkan penipuan dan bahaya
besar dalam muamalah. Ibn Rusyd berpendapat bahwa nasi’ah dari hal ini tidak di
haruskan menurut ijmak. Baik pada benda itu sendiri maupun pada tanggungan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahamkan bahwa ulama fiqih sepakat untuk
tidak membolehkan ad-dayn[12]
d) Pendapat
ulama tentang bai al inah
Jumhur ulama
menyatakan bahawa bai al-inah dilarang sebab
ia mengandung suatu cara (zariah) untuk
melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahawa bai
al-inah diperbolehkan apabila melibatkan pihak ketiga. Jual beli dengan akad
bai al-inah banyak diizinkan oleh ulama Malaysia, akan tetapi sebagian ulama
yang ada di Timur tengah dan Indonesia hanya berpendapat bahwa bai al-inah
tidak sesuai dengan islam. Apalagi dari empat mazhab mayoritas yang dipakai
umat islam, hanya mahzab syafi’I yang mengizinkan penggunaan akad ini dan alasan
tersebut dipakai oleh pihak ulama Malaysia yang tergabung dalam NSAC. Akan
tetapi Indonesia sebagai negara yang juga mayoritas umat islam yang memakai
mahzab Syafi’I justru berpendapat hampir sama dengan mayoritas ulama timur
tengah yaitu bai al-inah dilarang untuk dipakai.
e) Pendapat
Ulama tentang bai Bidhamanil ajil
Ibnu Qudamah menyatakan bahwa secara ijma’ jual beli
secara tangguh tidak diharamkan. Jual beli tertangguh merupakan salah satu jual
beli yang diisyaratkan. Penambahan harga jual dalam beli dibolehkan, sementara
penangguhan pembayaran dilakukan dengan syarat bila kedua belah pihak
menyetujui persyaratan kontrak tersebut. Sesuai dengan yang dijelaskan dalam
surah al-baqarah ayat 275 yang artinya : “Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa bai bidhamanil ajil dibolehkan oleh para ulama.
3. Buat contoh masing-masing akad di atas dan jelaskan contoh tersebut dalam bentuk bagan di Perbankan syariah?
Keterangan:
Nasabah (pemilik rumah) menjual
rumahnya kepada pihak bank dengan harga tertentu, kemudian bank
menyewakan/mengontrakkan rumah yang dibeli itu kepada pemilik tadi untuk jangka
waktu tertentu, setelah pada saat masa sewa/kontrak selesai, pemilik pertama
(nasabah) akan membeli kembali rumahnya dari pihak bank dengan harga yang lebih
tinggi dari pada harga sebelumnya.
b) Bagan/skema bai al inah
Keterangan
Nasabah menjual suatu komoditas ke
bank dengan harga Rp.200.000. dengan penjualan tersebut nasabah memperoleh uang
tunai dari bank dengan perolehan Rp200.000, dari hal tersebut nasabah mendapat
pinjaman uang tunai dari bank dengan cara menjual komoditas ke bank. Kemudian
pihak Bank menjual komoditas tersebut kembali ke pada pihak nasabah dengan
harga jual ditambah dengan margin
sebesar Rp250.000, dan nasabah membayar barang yang ia beli kembali dengan cara
cicilan kepada pihak bank. Dari hal tersebut bank memperoleh keuntungan sebesar
Rp.50.000.
Keterangan:
Bank (pemilik barang) menjual barang
kepada nasabah dengan harga cicilan/ kredit kemudian nasabah pembeli pertama menjualnya
kembali barang tersebut kepada pihak ke tiga (pembeli ke dua) dengan harga
kontan seharga Rp.250.000, dari hal tersebut pembeli pertama mendapat uang
tunai sebesar Rp.250.000, kemudian nasabah akan membayar kepada bank secara
kredit dengan harga Rp.300.000. Harga tunda lebih tinggi dari pada harga tunai,
sehingga pembeli pertama seperti mendapat pinjaman uang dengan pembayaran tunda.
d) Bagan/skema bai al dayn
Keterangan:
Nasabah membeli barang kepada pihak
Bank, misal mobil seharga Rp.200.000.000 dengan mencicil, dari keterangan
tersebut barang yang dibeli belum sepenuhnya milik nasabah, kemudian nasabah
menjual barang tersebut ke pihak ke III, dan barang yang dijual tersebutpun pindah
tangan ke pihak ke tiga, namun walaupun sudah menjadi milik pihak ke III namun
surat surat kendaraan dan buku hitamnya masih menjadi milik pihak Bank. Dari
keterangan tersebut nasabah menghibahkan hutang tersebut ke pihak ke III untuk
membayar nya.
e) Skema/bagan
bai bidhamanil ajil
Keterangan:
Nasabah mengidentifikasi asset,
misalkan asset X yang akan dibeli, bank kemudian membeli asset yang diinginkan
nasabah dari pemilik aset (supplier) dengan harga Rp.50.000.000, pihak Bank
kemudian menjual aset tersebut kepada nasabah dengan harga hual sama dengan
harga perolehan ditambah margin keuntungan yang diinginkan oleh bank seharga
Rp.60.000.000. Setelah aset diterima oleh nasabah, nasabah kemudian membayar aset
yang seharga Rp.60.000.000 kepada Bank dengan cara cicilan sesuai dengan
kesepakatan.
4.
Uraikan persamaan dan perbedaan Ba’I
al-wafa, Ba’itawarruq, Ba’I al-inah, dan
Ba’I
ad-dayn?
Persamaan ba’i ‘inah dan ba’i tawarruq yaitu sama menggunakan
sistem barang yang dibeli akan dibeli
kembali yang yaitu ketika diakhir waktu akad adanya pembelian
kembali apa yang telah dijual,
sedangkan perbedaannya
adalah Ba’i ‘inah yaitu menjual
sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya
lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit, Sedangkan
ba’i tawarruq adalah penjulan barang yang baru di belinya
secara cicilan dan dijual kepada pihak ketiga Perbedaan
antara Tawarruq dan Inah adalah, pada transaksi bai al-inah, seseorang yang membutuhkan dana membeli barang
dengan cara kredit, lalu menjual nya kembali kepada si penjual/pemilik barang
dalam bentuk tunai, yang harga nya lebih rendah dari harga kredit nya. Akar
kata dari inah adalah ayn (barang yang telah di beli) dapat menemukan jalan nya
kembali kepada pemilik asal nya. Menurut kebanyakan dari para pakar Hukum
Islam, Barang yang di gunakan adalah
sebuah alat untuk melakukan hilah, yaitu rekayasa untuk menghindar dari hal hal
yang di larang, seperti riba. Tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuh kan dana
segar/uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjual nya kepada
pihak ke 3 dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah, struktur transaksi
nya tidak meng indikasi kan hilah (melegalkan cara untuk mendapat kan riba), karena barang tersebut
tidak kembali pada pemilik asal nya. Dengan demikian para pakar Hukum
Islam, berpendapat bahwa Tawarruq adalah
tersaksi yang sah dan dapat di terima.
Persamaan bai al-wafa dan bai
al-dayn sama-sama memperjual belikan hutang, sedangkan Perbedaannya
adalah bai al-dayn adalah akad jual beli ketika yang diperjual
belikan adalah dayn atau hutang. Dayn dapat diperjual belikan dengan harga yang
sama, tetapi sebahagian besar ulama Fuqaha berpendapat bahwa jual beli dayn
atau hutang dengan diskon tidak dibolehkan secara syariah. Dan Bai al-wafa
berarti jual beli yang mempunyai waktu yang terbatas, misalnya satu tahun,
sehingga apabila waktu tahun telah habis, maka penjual membeli barang itu
kembali dari pembelinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ascarya. 2007. Akad
dan Produk Bank Syariah, Jakarta. RajaGrafinda Persada.
Mardani. 2012. Fiqh
Ekonomi Syariah, Jakarta. Prenada Media Group.
Dewi, Gemala.2005. Aspek
Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta.Prenada Media.
Harun, Nasrun.2000. Fiqih
Muamalah, Jakarta.Gaya Media Pratama.
Huda, Nurul dkk.2010. Lembaga
Keuangan Islam. Jakarta. Kencana,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar