Selasa, 25 November 2014

Ba’i al-wafa, Ba’i tawarruq, Ba’i al-inah, Ba’i ad-dayn dan Ba’i bidhamanil ajil di Perbankan Syariah



TUGAS MID SEMESTER
KEGIATAN USAHA BANK SYRI’AH II

D
I
S
U
S
U
N
Oleh

                                      NAMA : ADE KURNIAWAN
                                      NIM      : 12 220 0003
                                      PERBANKAN SYARIAH  I
                                                SEMESTER : V
DOSEN PEMBIMBING : Rosnani Siregar, M.Ag
                                NIP                               : 19740626 200312 2 001



T.A 2014/2015

1. Sebutkan defenisi dari Ba’i al-wafa, Ba’i tawarruq, Ba’i al-inah, Ba’i ad-dayn dan ba’i    bidhamanil ajil?
            Secara etimologi Ba’i al-wafa berasal dari kata ba’i yang berarti jual beli sedangkan al-wafa berarti pelunasan atau penutupan hutang, sedangkan secara terminologi Ba’i al-wafa merupakan jual beli yang dilangsungkan oleh dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
            Secara etimologi kata tawarruq diartikan daun. Dalam hal ini artinya adalah memperbanyak harta. Jadi tawarruq diartikan sebagai kegiatan memperbanyak uang. Sedangkan secara istilah Ba’i tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi daripada harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.
            Secara etimologi inah berarti meminjam/berhutang, sedangkan menurut istilah Ba’i al-inah adalah menjual suatu benda dengan harga lebih dibayarkan belakangan dalam tempo tertentu untuk di jual lagi oleh orang yang berhutang dengan harga saat itu yang lebih murah untuk menutup hutangnya.
            Secara etimologi dayn berarti hutang, secara istilah adalah jual beli dua hal yang tertunda, ia dapat berlaku pada pengalihan barang(kepemilikan) dan pembayaran tertunda, baik berupa barang maupun uang. Peraturan yang wujud dalam hal ini adalah dilarang melakukan penangguhan kedua-duanya, baik ia berupa barang dengan barang, maupun barang dengan uang. Jadi jual beli ini harus ada serah terima tunai dan pada masa yang sama.
            Secara istilah Bidhamanil ajil adalah jual beli tertangguh. Bagi orang yang membutuhkan biaya untuk keperluan produktif ataupun konsumtif, dapat menggunakan konsep ba’i bidhamanil ajil ini dalam berkontrak. Hal ini karena prinsip ini memberikan ruang kepada nasabah untuk membeli sesuatu dengan pembayaran secara diangsur. Pembiayaan ba’i bidhamanil ajil berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut ditambah margin keuntungan bank secara menyicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah.
2.      Uraikan pendapat Ulama terhadap produk Perbankan yang tertera di atas?
a)      Pendapat Ulama tentang ba’i al wafa
                        Menurut Musthafa Ahmad dan Abdurrahman Ashabuni, jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan telah menjadi urf (adat kebiasaan), baru kemudian para ulama fiqh dalam hal ini ulama Hanafi, melegalisasikan jual beli ini. Imam an Nasafi seorang ulama terkemuka mazhab Hanafi ia mengatakan: “para syekh kami(Hanafi) membolehkan bai al-wafa sebagai jalan keluar dari riba. Jalan pikiran ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap bai al-wafa adalah berdasarkan istilah urf. Akan tetapi para ulama fiqh lainnya tidak boleh melegalisasi bentuk jual beli ini.
            Namun demikian para ulama muta akhirin (generasi belakangan) dapat menerima baik jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah bahkan dijadikan hukum positif.[8] Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Mesir menyusun kitab Undang-Undang hukum perdata pada tahun 1948 bai al-wafa juga diakui secara sah dan dicantumkan dalam pasal 430 undang-undang itu. Akan tetapi ketika terjadi revisi terhadap undang-undang ini pada tahun 1971,bai al-wafa tidak dicantumkan lagi. Menurut Mustafa az-Zarqa pembuangan pasal tersebut bukan karena akad tersebut tidak diakui sah oleh para ulama mesir, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan situasi dan kondisi ketika undang-undang itu di buat.[9]
b)      Pendapat ulama tentang bai tawarruq
                        Dalam jual beli tawarruq ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu Taimiyah, jual beli tawarruq hukumnya adalah haram,karena ia merupakan sarana bagi riba mendapatkan keuntunngan yang besar. Menurut Imam Nawawi,dalam kitab raudhoh ath-thalibiin, jual beli tawarruq hukumnya halal karena tidak ada larangan jual beli secara inah dan tawarruq, begitu juga menurut Ismail ibn Yahya al-Muzni Syafi’I tidak ada larangan seseorang menjual harta bendanya secara kredit kemudian membelinya kembali dari si pembeli dengan harga lebih murah, baik secara kontan, penawaran maupun kredit.
                        Jumhur ulama membolehkan karena ia mengartikan sebagai jual beli, Ulama bin Baaz membolehkannya sebab tawarruq berbeda dengan inah dan memudahkan dan memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhannya. Adapun ulama Ibn Uthaimeen memeperbolehkan bai tawurruq dengan alasan merupakan salah satu jenis pinjaman yang diperbolehkan dengan membeli suatu butir untuk suatu pembayaran angsuran, kemudian selanjutnya menjual kepada orang lain. Abu Hanifah melarangnya, terkecuali dengan beberapa alasan, seperti jika melibatkan pihak ketiga (bukan sale and buy back).[10]
c)      Pendapat ulama tentang bai ad-dayn
                        Jual beli hutang merupakan salah satu bentuk perniagaan yang diperdebatkan statusnya.sebagian ulama membolehkan jual beli hutang pada pengutang (orang yang berutang). Dengan demikian jual beli hutang dilakukan, baik kepada pengutang atau selain pihak pengutang. Juga dapat dilaksanakan dalam dua hal, baik pembayaran harga secara tunai maupun bertangguh. Ada beberapa pendapat ulam tentang status hukum jual beli tersebut.[11]


·         Jual beli hutang secara tunai
                        Mengenai jual beli hutang secara tunai fukaha berpendapat, pertama, jual hutang kepada orang yang berutang itu sendiri. Hukum jual beli hutang seperti ini adalah berbeda berdasarkan hutang tetap (mustaqir) dan hutang tidak tetap (ghairu mustaqir) jumhur ulama mengemukakan bahwa jual hutang yang telah milik tetap boleh atau dapat dihibahkan kepadanya, baik dan tukaran (bayaran) atau tanpa tukaran atau hibah, ini dikenal dengan istibdal. Akan tetapi jual beli hutang yang tidak tetap dapat diumpamakan seperti bai salam, dimana tidak dibolehkan menjualnya sebelum serah terima, karena bisa jadi terjadi pembatalan kontrak perjanjian sebelum barang yang dipesan diterima.
                        Kedua, jual beli hutang kepada selain dari orang yang berutang. Jumhur ulama berpendapat jual beli ini tidak dibenarkan. Sementara mazhab Syafi’I menjelaskan boleh hukumnya menjual barang kepada pihak ketigasekiranya hutang tersebut tetap, dan ia jual dengan barang secara tunai. Perdagangan pasar sekunder untuk sekuritas islam dimungkinkan melalui bai ad-dayn sebagai mana berbagai kasus di Malaysia yang didasarkan pada sukuk. Akan tetapi jumhur ulama tidak menerima keadaan ini karena hutang yang diwakili oleh sukuk didukung oleh aset-aset utama.
·         Jual beli hutang secara tanggguh
                        Berhubungan dengan hal ini ahli fiqih semangat mengatakan bahwa bai ad-dayn bi al-dayn tidak boleh, baik dijual kepada orang yang berutang, maupun kepada orang lain. Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa perkara yang di tunda penyerahannya, disampingayn(benda yang diserahkan) tidak ada pada kekuasaannya, seperti menyerahkan sesuatu dengan sesuatu dalam bentuk tanggungan. Hal ini dapat menimbulkan penipuan dan bahaya besar dalam muamalah. Ibn Rusyd berpendapat bahwa nasi’ah dari hal ini tidak di haruskan menurut ijmak. Baik pada benda itu sendiri maupun pada tanggungan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahamkan bahwa ulama fiqih sepakat untuk tidak membolehkan ad-dayn[12]


d)     Pendapat ulama tentang bai al inah
                        Jumhur ulama menyatakan bahawa bai al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu cara (zariah) untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahawa bai al-inah diperbolehkan apabila melibatkan pihak ketiga. Jual beli dengan akad bai al-inah banyak diizinkan oleh ulama Malaysia, akan tetapi sebagian ulama yang ada di Timur tengah dan Indonesia hanya berpendapat bahwa bai al-inah tidak sesuai dengan islam. Apalagi dari empat mazhab mayoritas yang dipakai umat islam, hanya mahzab syafi’I yang mengizinkan penggunaan akad ini dan alasan tersebut dipakai oleh pihak ulama Malaysia yang tergabung dalam NSAC. Akan tetapi Indonesia sebagai negara yang juga mayoritas umat islam yang memakai mahzab Syafi’I justru berpendapat hampir sama dengan mayoritas ulama timur tengah yaitu bai al-inah dilarang untuk dipakai.
e)      Pendapat Ulama tentang bai Bidhamanil ajil
                        Ibnu Qudamah menyatakan bahwa secara ijma’ jual beli secara tangguh tidak diharamkan. Jual beli tertangguh merupakan salah satu jual beli yang diisyaratkan. Penambahan harga jual dalam beli dibolehkan, sementara penangguhan pembayaran dilakukan dengan syarat bila kedua belah pihak menyetujui persyaratan kontrak tersebut. Sesuai dengan yang dijelaskan dalam surah al-baqarah ayat 275 yang artinya :  “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bai bidhamanil ajil dibolehkan oleh para ulama.

3.      Buat contoh masing-masing akad di atas dan jelaskan contoh tersebut dalam bentuk bagan di Perbankan syariah?





Keterangan:
            Nasabah (pemilik rumah) menjual rumahnya kepada pihak bank dengan harga tertentu, kemudian bank menyewakan/mengontrakkan rumah yang dibeli itu kepada pemilik tadi untuk jangka waktu tertentu, setelah pada saat masa sewa/kontrak selesai, pemilik pertama (nasabah) akan membeli kembali rumahnya dari pihak bank dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebelumnya.

b)      Bagan/skema bai al inah


Keterangan
            Nasabah menjual suatu komoditas ke bank dengan harga Rp.200.000. dengan penjualan tersebut nasabah memperoleh uang tunai dari bank dengan perolehan Rp200.000, dari hal tersebut nasabah mendapat pinjaman uang tunai dari bank dengan cara menjual komoditas ke bank. Kemudian pihak Bank menjual komoditas tersebut kembali ke pada pihak nasabah dengan harga  jual ditambah dengan margin sebesar Rp250.000, dan nasabah membayar barang yang ia beli kembali dengan cara cicilan kepada pihak bank. Dari hal tersebut bank memperoleh keuntungan sebesar Rp.50.000.




             

Keterangan:
            Bank (pemilik barang) menjual barang kepada nasabah dengan harga cicilan/ kredit  kemudian nasabah pembeli pertama menjualnya kembali barang tersebut kepada pihak ke tiga (pembeli ke dua) dengan harga kontan seharga Rp.250.000, dari hal tersebut pembeli pertama mendapat uang tunai sebesar Rp.250.000, kemudian nasabah akan membayar kepada bank secara kredit dengan harga Rp.300.000. Harga tunda lebih tinggi dari pada harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapat pinjaman uang dengan pembayaran tunda.


d)     Bagan/skema bai al dayn




Keterangan:
            Nasabah membeli barang kepada pihak Bank, misal mobil seharga Rp.200.000.000 dengan mencicil, dari keterangan tersebut barang yang dibeli belum sepenuhnya milik nasabah, kemudian nasabah menjual barang tersebut ke pihak ke III, dan barang yang dijual tersebutpun pindah tangan ke pihak ke tiga, namun walaupun sudah menjadi milik pihak ke III namun surat surat kendaraan dan buku hitamnya masih menjadi milik pihak Bank. Dari keterangan tersebut nasabah menghibahkan hutang tersebut ke pihak ke III untuk membayar nya.


 e)      Skema/bagan bai bidhamanil ajil



Keterangan:
            Nasabah mengidentifikasi asset, misalkan asset X yang akan dibeli, bank kemudian membeli asset yang diinginkan nasabah dari pemilik aset (supplier) dengan harga Rp.50.000.000, pihak Bank kemudian menjual aset tersebut kepada nasabah dengan harga hual sama dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan yang diinginkan oleh bank seharga Rp.60.000.000. Setelah aset diterima oleh nasabah, nasabah kemudian membayar aset yang seharga Rp.60.000.000 kepada Bank dengan cara cicilan sesuai dengan kesepakatan.



4.      Uraikan persamaan dan perbedaan Ba’I al-wafa, Ba’itawarruq, Ba’I al-inah, dan
       Ba’I ad-dayn?
                   Persamaan ba’i ‘inah dan ba’i tawarruq yaitu sama menggunakan sistem barang yang dibeli akan dibeli kembali yang yaitu ketika diakhir waktu akad adanya pembelian kembali apa yang telah dijual, sedangkan perbedaannya adalah Ba’i ‘inah yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit, Sedangkan ba’i tawarruq adalah penjulan barang yang baru di belinya secara cicilan dan dijual kepada pihak ketiga Perbedaan antara Tawarruq dan Inah adalah, pada transaksi bai al-inah,  seseorang yang membutuhkan dana membeli barang dengan cara kredit, lalu menjual nya kembali kepada si penjual/pemilik barang dalam bentuk tunai, yang harga nya lebih rendah dari harga kredit nya. Akar kata dari inah adalah ayn (barang yang telah di beli) dapat menemukan jalan nya kembali kepada pemilik asal nya. Menurut kebanyakan dari para pakar Hukum Islam,  Barang yang di gunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yaitu rekayasa untuk menghindar dari hal hal yang di larang, seperti riba. Tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuh kan dana segar/uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjual nya kepada pihak ke 3 dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah, struktur transaksi nya tidak meng indikasi kan hilah (melegalkan cara  untuk mendapat kan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asal nya. Dengan demikian para pakar Hukum Islam,  berpendapat bahwa Tawarruq adalah tersaksi yang sah  dan dapat di terima.
                       Persamaan bai al-wafa dan bai al-dayn sama-sama memperjual belikan hutang, sedangkan Perbedaannya adalah bai al-dayn adalah akad jual beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn atau hutang. Dayn dapat diperjual belikan dengan harga yang sama, tetapi sebahagian besar ulama Fuqaha berpendapat bahwa jual beli dayn atau hutang dengan diskon tidak dibolehkan secara syariah. Dan Bai al-wafa berarti jual beli yang mempunyai waktu yang terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu tahun telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya.





DAFTAR PUSTAKA
            Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta. RajaGrafinda Persada.
            Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta. Prenada Media Group.
            Dewi, Gemala.2005. Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di          Indonesia, Jakarta.Prenada Media.
            Harun, Nasrun.2000. Fiqih Muamalah, Jakarta.Gaya Media Pratama.
            Huda, Nurul dkk.2010. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta. Kencana,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar